Lebaran memang berlalu, tapi ini adalah sebuah catatan yang akan aku buka di tahun tahun yang akan datang. ketika Sebagian umat Islam Indonesia merayakan Idul Fitri 1432 Hijriah pada Rabu. Sebagian lagi sudah merayakannya sehari sebelumnya.
Muhammadiyah lebih dulu memastikan Idul Fitri pada 30 Agustus 2011. Barulah kemudian Nahdlatul Ulama dan Persatuan Islam memutuskan Lebaran pada 31 Agustus 2011.
Di era teknologi modern ini, yang paling belakangan mengambil keputusan ialah pemerintah. Berdasarkan hasil sidang isbat, pemerintah akhirnya memutuskan Idul Fitri jatuh pada 31 Agustus 2011.
Begitulah, perbedaan hari Lebaran kembali terjadi. Penyebabnya ialah perbedaan metode dalam menetapkan akhir Ramadan atau awal Syawal. Setiap organisasi ataupun kelompok Islam termasuk pemerintah mempunyai metode atau argumen sendiri dalam menetapkan Idul Fitri.
Terlepas dari perbedaan metode dan argumen dalam menetapkan Idul Fitri, kita sepantasnya semakin dewasa dalam menghadapi perbedaan itu. Perbedaan sesungguhnya membawa rahmat dan manfaat bila kita bisa menghargainya sebagai kekayaan. Perbedaan pada dasarnya indah jika kita menghayatinya sebagai keragaman penuh warna.
Sebaliknya, perbedaan bisa membawa laknat bila kita mempertentangkannya. Perbedaan bakal membawa mudarat jika ada semangat untuk menyeragamkan perbedaan itu.
Andai ada semangat menyeragamkan, perbedaan yang sesungguhnya indah berubah menjadi petaka yang menakutkan karena ada pemaksaan. Alih-alih menghasilkan persatuan, upaya penyeragaman justru akan memicu perpecahan, memutus silaturahim. Sebab, dalam upaya penyeragaman semacam itu terkandung semangat menyalahkan kelompok lain yang berbeda.
Idul Fitri jatuh pada bulan Syawal. Syawal sendiri bermakna peningkatan. Kita berharap pasca-Ramadan, penghargaan dan penghormatan kita pada perbedaan semakin tinggi, semakin meningkat. Apalagi, perbedaan dalam merayakan Idul Fitri hanyalah satu dari begitu banyak perbedaan yang kita hadapi dalam kehidupan sosial, berbangsa, dan bernegara. Kita berharap, kita bukan hanya makin dewasa dan terbuka dalam menghargai dan menghormati perbedaan Idul Fitri, melainkan juga dalam perbedaan-perbedaan lain dalam kehidupan nyata masyarakat yang plural.
Tentu saja tetap terbuka peluang untuk menyatukan perbedaan melalui musyawarah, bukan melalui paksaan. Akan tetapi, jika kesatuan pendapat tidak tercapai, marilah kita rayakan perbedaan dengan penuh sukacita.
Sebaiknya pemerintah pun tidak usah ikut menetapkan kapan Idul Fitri tiba. Biarlah hal itu menjadi keputusan organisasi kemasyarakatan ataupun kelompok di tingkat warga sesuai dengan metode atau argumen masing-masing.
Apalagi bila penetapan itu dilakukan semata dengan mengambil posisi waktu Indonesia Barat sehingga menyebabkan warga di belahan waktu Indonesia Timur tidak tarawih, juga tidak takbiran.
Muhammadiyah lebih dulu memastikan Idul Fitri pada 30 Agustus 2011. Barulah kemudian Nahdlatul Ulama dan Persatuan Islam memutuskan Lebaran pada 31 Agustus 2011.
Di era teknologi modern ini, yang paling belakangan mengambil keputusan ialah pemerintah. Berdasarkan hasil sidang isbat, pemerintah akhirnya memutuskan Idul Fitri jatuh pada 31 Agustus 2011.
Begitulah, perbedaan hari Lebaran kembali terjadi. Penyebabnya ialah perbedaan metode dalam menetapkan akhir Ramadan atau awal Syawal. Setiap organisasi ataupun kelompok Islam termasuk pemerintah mempunyai metode atau argumen sendiri dalam menetapkan Idul Fitri.
Terlepas dari perbedaan metode dan argumen dalam menetapkan Idul Fitri, kita sepantasnya semakin dewasa dalam menghadapi perbedaan itu. Perbedaan sesungguhnya membawa rahmat dan manfaat bila kita bisa menghargainya sebagai kekayaan. Perbedaan pada dasarnya indah jika kita menghayatinya sebagai keragaman penuh warna.
Sebaliknya, perbedaan bisa membawa laknat bila kita mempertentangkannya. Perbedaan bakal membawa mudarat jika ada semangat untuk menyeragamkan perbedaan itu.
Andai ada semangat menyeragamkan, perbedaan yang sesungguhnya indah berubah menjadi petaka yang menakutkan karena ada pemaksaan. Alih-alih menghasilkan persatuan, upaya penyeragaman justru akan memicu perpecahan, memutus silaturahim. Sebab, dalam upaya penyeragaman semacam itu terkandung semangat menyalahkan kelompok lain yang berbeda.
Idul Fitri jatuh pada bulan Syawal. Syawal sendiri bermakna peningkatan. Kita berharap pasca-Ramadan, penghargaan dan penghormatan kita pada perbedaan semakin tinggi, semakin meningkat. Apalagi, perbedaan dalam merayakan Idul Fitri hanyalah satu dari begitu banyak perbedaan yang kita hadapi dalam kehidupan sosial, berbangsa, dan bernegara. Kita berharap, kita bukan hanya makin dewasa dan terbuka dalam menghargai dan menghormati perbedaan Idul Fitri, melainkan juga dalam perbedaan-perbedaan lain dalam kehidupan nyata masyarakat yang plural.
Tentu saja tetap terbuka peluang untuk menyatukan perbedaan melalui musyawarah, bukan melalui paksaan. Akan tetapi, jika kesatuan pendapat tidak tercapai, marilah kita rayakan perbedaan dengan penuh sukacita.
Sebaiknya pemerintah pun tidak usah ikut menetapkan kapan Idul Fitri tiba. Biarlah hal itu menjadi keputusan organisasi kemasyarakatan ataupun kelompok di tingkat warga sesuai dengan metode atau argumen masing-masing.
Apalagi bila penetapan itu dilakukan semata dengan mengambil posisi waktu Indonesia Barat sehingga menyebabkan warga di belahan waktu Indonesia Timur tidak tarawih, juga tidak takbiran.
Mestinya negara cuma ngurus gimana yg Lebaran Selasa gak bentrok/saling hina ma yg lebaran Rabu. Negara cuma ngatur rukunnya.KONSISTENSI |
0 comments:
Post a Comment